ditulis dalam Apakabar.co.id
Persoalan penanganan lansia (manusia
lanjut usia) terlantar dan orang mengalami gangguan jiwa (gila) di Kota
Surabaya kian rumit. Hal itu seiring terus bertambahnya jumlah lansia dan orang
gila yang ditangani membuat Pemkot Surabaya kian kewalahan.
“Menurut data yang terdaftar sudah
sekitar 2115 orang yang gila, yang ditampung oleh Dinas Sosial Kota Surabaya,
masalahnya bukan hanya memberi mereka makan, tapi mereka diberi obat, ada
dokter yang selalu mengkontrol,” kata Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Sabtu
(9/7).
Untuk penangan lansia, kata Risma, 90
persen penghuni Griya Werda bukanlah warga asli Surabaya. Setelah dirawat, para
tuna wisma ini dikembalikan ke keluarganya, tapi umumnya mereka menolak
sehingga dikembalikan lagi ke Dinas Sosial.
Risma menambahkan, selama Lebaran
seperti ini, para Satpol PP dan Linmas setidaknya menghimpun empat hingga lima
orang per hari yang ditelantarkan di jalan. "Perlu adanya pembelajaran
bagi anak-anak kita, mereka ada karena orangtua mereka. Kalau ditanya merawat
orangtua sakit itu berat, ya semua pasti berat," jelasnya.
Diperkirakannya, pada hari pertama masuk
kerja usai lebaran, Senin (11/7/2016) Risma mengatakan Pemkot Surabaya akan
mengirimkan 40 orang yang sudah sembuh karena telah dirawat. "Tapi kadang
kita antar ke daerah ditolak sama keluarganya, ya kita balik lagi. Ini kan
harus dicarikan solusi," keluh Risma.
Saat ini, lanjutnya, Surabaya menjadi
jujukan para kaum tuna wisma di area Jawa Timur. Risma un mengaku kewalahan
menampung para tuna wisma ini, sehingga kapasitas Liponsos dan Griya Werda
menjadi over load. "Pasti Tuhan memberikan jalan ke Pemkot Surabaya,
bagaimana membantu orang-orang ini, ," jelas Risma. (maa)
Info lain dari sumber yang lain Program ASLUT
Info lain dari sumber yang lain Program ASLUT
Penerima Dana Program Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) tahun
2016 berjumlah 30.000 orang Lanjut Usia di 34 provinsi yang meliputi 418
kabupaten/kota, 1.511 kecamatan dan 4.233 desa/kelurahan yang masing-masing
diberikan bantuan sebesar @ Rp. 200.000,- per bulan selama 12 bulan dengan
jumlah keseluruhan senilai Rp.72.000.000.000,- ( data Direktorat RS LU tahun
2016). “Untuk mendukung Pelaksanaan Program ASLUT diperlukan dukungan dari
tenaga Pendamping sebagai ujung tombak pelaksanaan program yang sudah ada di 34
provinsi.
BANTUAN JAMINAN SOSIAL BAGI LANSIA TERLANTAR (PROGRAM ASISTENSI SOSIAL
LANJUT USIA TERLANTAR/ASLUT ;
1. USIA 60 TAHUN KEATAS
2. MENGALAMI SAKIT
MENAHUN
3. HIDUPNYA TERGANTUNG
PADA BANTUAN ORANG LAIN
4. HIDUPNYA HANYA
BERBARING DI TEMPAT TIDUR ( BEDRIDEN ) SEHINGGA TIDAK MAMPU MELAKUKAN AKTIVITAS
SE HARI- HARI
5. TIDAK MEMILIKI SUMBER
PENGHASILAN
6. KONDISI MISKIN DAN
TERLANTAR
Untuk tahun 2017 Lansia usia 70 tahun ke atas akan ditangani melalui
Program Keluarga Harapan (PKH). Berkaitan dengan akan dialihkannya Lansia
tersebut ke PKH, seluruh peserta keberatan dan menolak dengan alasan antara
lain bahwa cakupan tugas pendampingan PKH saat ini sangat luas baik jumlah
peserta maupun daerah/wilayah dampingannya sehingga sangat tidak memungkinkan
untuk diberikan tanggung jawab untuk menjadi pendamping ASLUT,pola dampingan yang
dilakukan oleh pendamping PKH lebih pada peran manajerial sementara pendamping
ASLUT lebih pada aspek humanity (lebih pada pendekatan kemanusiaan).
Koordinasi Pemberdayaan Lanjut Usia Potensial
1. Pemberdayaan social
adalah suatu program lanjutan dari proses pemberian bantuan sebelumnya yang
ditujukan dalam upaya peningkatan kemandirian, pemeliharaan dan perbaikan
penghasilan guna peningkatan taraf kesejahteraan ekonomi serta pengintegrasian
Para Lanjut Usia Potensial dengan lingkungan sosialnya.
2. Pemerdayaan bisa
dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu melalui bimbingan, konseling,
pendekatan terhadap kelompok masyarakat dan kelompok sebagai media intervensi.
3. Pemberdayaan Lanjut
Usia Potensial antara lain:
4. Program usaha ekonomis
produktif (UEP) guna meningkatkan aksesibilitas terhadap sumber daya ekonomi
berupa peningkatan produktivitas kerja, pengembangan usaha, peningkatan
penghasilan dan pengembangan kemitraaan yang saling menguntungkan.
5. Pemberian bimbingan
keterampilan, berdasarkan kebutuhan dan keterampilan yang dimiliki oleh calon
penerima bantuan dengan difokuskan untuk menggali potensi yang dimiliki calon
penerima bantuan sebagai sumber utama meningkatkan keterampilan.
6. Pemberdayaan terhadap
Lanjut Usia Potensial tersebut perlu ditindaklanjuti dengan monitoring dan
evaluasi untuk mengetahui sedini mungkin proses pemberdayaan yang sedang
berlangsung serta untuk memberikan penilaian apakah indikator-indikator yang
telah ditetapkan telah terpenuhi.
7. Dari hasil pertemuan
didapatkan hasil bahwa Kabupaten Sanggau mendapatkan alokasi bantuan Usaha
Ekonomi Produktif (UEP) bagi Lanjut Usia Potensial sebanyak 65 orang dengan
rincian lokasi untuk perbatasan 25 orang setelah diverifikasi yang ada adalah
23 orang dan untuk Kecamatan Kapuas 40 orang, yang diperbatasan diusahakan di
Kecamatan Entikong ditambah kecamatan Sekayam. Serta usulan yang dibawa ke
Dinas Sosial Propinsi Kalimantan Barat ada 72 orang setelah diseleksi masih
banyak yang dibawah 60 Tahun. Tetapi tetap dapat menutup kuota sebanyak 65
orang, dengan jumlah pendamping 5 orang.
Kriteria daripada Lanjut Usia Potensial adalah
·
Lanjut Usia berusia 60 Tahun atau lebih.
·
Berbadan Sehat.
·
Mempunyai ketrampilan usaha.
·
Bukan Penerima Upah/Pensiunan.
Untuk Persyaratan Penerima UEP Lansia Potensial adalah
·
Mengisi Formulir yang telah disediakan
o
Foto Copy Buku Rekening Bank BRI
o
Foto Copy KTP yang masih berlaku
o
Photo 3X4 buah
FAKIR MISKIN DAN ANAK-ANAK TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA?
- Dibuat: Senin, 22 September 2014 08:55
- Ditulis oleh Achmat Subekan
Oleh:
Dr. Achmat Subekan, S.E., M.Si.
Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Malang
ABSTRAK
Didirikannnya Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, masih terdapat masyarakat dalam keadaan fakir, miskin, dan terlantar. Mereka bisa bermetamorfosis menjadi gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pilihan kata dalam klausul ayat tersebut ternyata dapat memunculkan makna yang berbeda-beda. Jumlah gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan yang terus bertambah di banyak kota besar lebih mendorong seseorang mengartikan kalimat sesuai dengan kenyataan yang ada.
Kata kunci: negara, keadilan, fakir, miskin, anak terlantar, dan dipelihara
Pendahuluan
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta dalam keadaan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut antara lain ditujukan agar antarmanusia dapat saling mengenal dan tolong-menolong. Manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya. Seorang laki-laki membutuhkan perempuan, demikian juga sebaliknya. Seorang pimpinan membutuhkan anak buah, demikian juga sebaliknya. Tidak seorang pun sanggup untuk hidup sendirian walaupun dunia dan seisinya diberikan kepadanya. Walaupun surga seisinya telah diberikan kepadanya, Nabi Adam tetap membutuhkan kehadiran Siti Hawa dalam kehidupannya.
Perbedaan keadaan manusia ternyata tidak sebatas jenis kelamin, suku, bangsa, dan warna kulitnya, tetapi juga dalam kehidupan ekonomi yang mereka alami. Di samping terdapat orang yang beruntung memiliki kehidupan ekonomi yang mapan, ada juga masyarakat yang memiliki kehidupan ekonomi kurang beruntung. Masyarakat yang berada dalam keadaan fakir, miskin, dan terlantar adalah contoh orang-orang yang kurang beruntung dalam kehidupan ekonominya menurut kebanyakan umat manusia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah salah satu cita-cita yang telah digagas oleh para pendiri bangsa (founding fathers) sebagaimana diungkapkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Begitu besarnya perhatian para perumus UUD 1945terhadap ketimpanan ekonomi, sampai-sampai terdapat ayat yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Klausul tersebut berada pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Masyarakat fakir, miskin, dan anak-anak yang terlantar dianggap sebagai kondisi ekstrim keterbelakangan kondisi perekonomian seseorang sehingga negara harus memberikan perhatian khusus. Hal ini dilakukan dengan melakukan pemeliharaan terhadap mereka.
Arti Kata “Pelihara”
Kata “pelihara” merupakan salah satu kata yang dimiliki Bahasa Indonesia dan dapat dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam kamus tersebut, kata “pelihara” memiliki kemiripan arti dengan kata “jaga” dan “rawat”. Kata “memelihara” yang merupakan turunan dari kata pelihara memiliki arti: 1) menjaga dan merawat baik-baik, 2) mengusahakan dan menjaga (supaya tertib, aman, dsb), 3) mengusahakan (mengolah), 4) menjaga dan mendidik baik-baik, 5) memiara atau menernakkan, 6) mempunyai, 7) membiarkan tumbuh, dan 8) menyelamatkan, melindungi, melepaskan (meluputkan) dari bahaya dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “pelihara” dan turunannya digunakan untuk mengungkapkan berbagai hal. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikenal adanya belanja pemeliharaan. Belanja yang merupakan bagian dari belanja barang ini dimaksudkan untuk mempertahankan berfungsinya aset atau barang yang dimiliki pemerintah/negara. Belanja pemeliharaan gedung dimaksudkan untuk merawat gedung agar tetap dapat berfungsi dengan baik. Belanja pemeliharaan peralatan dan mesin dimaksudkan untuk menjaga dan memperbaiki kerusakan peralatan dan mesin agar tetap dapat digunakan untuk mendukung operasional pemerintahan. Tujuan dari belanja pemeliharaan adalah untuk mempertahankan (menjaga keawetannya) barang atau aset yang dipelihara sehingga tetap dapat berfungsi dengan baik.
Dalam keseharian masyarakat luas juga sering menggunakan kata “memelihara”, misalnya: Badu memelihara ayam. Pada kalimat tersebut, kata memelihara bermakna tidak hanya mempertahankan, tetapi juga mengembangbiakkan sehingga beranak-pinak. Ayam peliharaan Badu tidak hanya dirawat agar tetap hidup, tetapi juga agar bertelur dan menetaskannya sehingga beranak dan terus bertambah banyak. Seorang peternak memelihara hewan piaraannya bermaksud agar hewan piaraannya berkembang biak. Dengan jumlah hewan peliharaan yang terus bertambah tersebut diharapkan dapat mendatangkan keuntungan.
Negara Memelihara Fakir Miskin dan Anak Terlantar
Di banyak kota, terutama kota-kota besar, begitu mudah dijumpai para pengemis dengan bermacam sebutan. Di antara mereka ada yang disebut gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan. Mereka adalah cerminan kehidupan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Jumlah mereka cenderung bertambah dari waktu ke waktu, apalagi pada saat bulan puasa dan lebaran tiba.
Pemerintah kabupaten/kota yang dapat melihat dari dekat kondisi dan keberadaan mereka tidak banyak melakukan tindakan nyata guna mengentaskan mereka dari kehidupan nestapa tersebut. Jumlah gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan terus mengalami pertambahan. Dikaitkan dengan arti “dipelihara” sebagaimana diuraikan di atas, kondisi mereka yang terus bertambah ini menjadi bahan perbincangan tersendiri. Apabila gedung dan bangunan dipeliharaagar awet dan bertahan lama, maka fakir miskin dan anak terlantar dipelihara juga bisa bermakna agar awet dan bertahan lama. Kondisi mereka tetap fakir, miskin, dan terlantar. Mereka pun harus tetap eksis karena memang “dipelihara” oleh negara seperti halnya aset atau barang milik negara yang dipelihara agar tetap ada dan berfungsi dengan baik.
Akan lebih mengenaskan lagi arti kata “dipelihara” apabila disejajarkan dengan kalimat “Ayamdipelihara oleh Badu”. Sebagai pihak yang memelihara ayam, Badu tentu berkeingingan agar ayampeliharaannya sehat-sehat, bertelur, dan berkembang biak sehingga makin lama makin banyak. Apabila arti yang demikian digunakan pada kalimat “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” maka berkembang dan bertambahnya masyarakat kaum fakir, miskin, dan anak terlantar merupakan tujuan yang diharapkan. Masyarakat gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak-anak jalanan yang makin hari terus bertambah jumlahnya menunjukkan keberhasilan “pemeliharaan” terhadap mereka.
Akan menyedihkan sekali apabila kata “dipelihara” pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 diarahkan artinya pada mempertahankan eksistensi atau mengembangbiakkan fakir miskin dan anak terlantar. Namun, kenyataan di masyarakat hal itulah yang terjadi. Kaum miskin dan papa ini semakin bertambah karena tidak adanya program pemberdayaan dan pengentasan mereka. Gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak-anak jalanan semakin mudah dijumpai di kota-kota besar. Terlepas dari apakah gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak-anak jalanan tersebut masuk dalam golongan fakir miskin dan anak terlantar, yang jelas mereka adalah indikator kemiskinan yang terjadi di suatu daerah. Harus diakui,beberapa pemerintah kabupaten/kota telah mampu membersihkan wajah kotanya dari gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan, namun jumlah kabupaten/kota yang demikian masih sangat sedikit.
Klausul dalam Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara” bisa menjadi memiliki arti yang berbeda-beda. Hal ini sangat bergantung pada dari sudut mana seseorang memaknainya. Jumlah fakir miskin dan anak terlantar yang terus bertambah bisa menunjukkan negara telah bersalah karena tidak memberikan penghidupan yang layak kepada mereka. Namun, terus bertambahnya mereka juga dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut karena negara memang “memelihara” (membiarkan tumbuh) mereka.
Penutup
Dari uraian di atas, pembaca tentu sudah bisa menyimpulkan dan memberikan jawaban terhadap judul yang diangkat. Dalam kondisi apapun, negara tetap dapat dikatakan “memelihara” fakir miskin dan anak terlantar. Negara membiarkan mereka terus berkembang dan bertambah jumlahnya tanpa melakukan program pengentasan dari penderitaan hidup mereka, dapat dikatakan telah “memelihara”. Sebaliknya, negara melakukan program pengentasan dan pemberdayaan sehingga mereka terlepas dari kondisi fakir, miskin, dan keterlantarannya juga memenuhi arti kata “memelihara”.
UUD 1945 yang telah empat kali diamandemen tidak lagi memiliki penjelasan seperti naskah asli yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para perumus UUD 1945, penulis berpendapat bahwa kata “dipelihara“ pada ayat tersebut harus dimaknai “dirawat, dilindungi, dan diberdayakan sehingga mereka tidak lagi fakir, miskin, dan terlantar”. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekiranya di masa mendatang, para wakil rakyat yang tergabung di Majelis Permusyawaratan Rakyat bermaksud mengubah redaksional Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ini, penulis sangat memberikan apresiasi. Perubahan yang dilakukan harus tidak menimbulkan multitafsir ataupun memiliki pengertian yang bertolak belakang. Amandemen konstitusi tentu membutuhkan “energi” yang besar. Para wakil rakyatlah yang harus memikirkannya. Semoga tulisan ini bermanfaat, amin.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahnya
Undang-undang Dasar 1945
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Komentar
Posting Komentar